Selasa, 27 November 2012

No Passion, No Life (mengejar passion)


Passion karya Tuhan
“ Gue gak semangat kerja di sana.” ujar Ujang lesu.

“ Gue capek. Capek hati, capek fisik, capek pikiran. Pokoknya cape!” keluh Bobby yang ke-gap lagi ngomong sama guling.

“ PUSIIING!” Agus menghujam kepalanya ke tumpukan kapas. Karena dia tidak ingin kepalanya benjut-benjut.

“ Aaargh!” oh sorry, yang ini si Cecep. Teriak bukan karena kerjaan. Tapi lagi diurut patah tulang.


Well, dari cuplikan di atas, gue berani berpendapat bahwa mereka (minus Cecep), bekerja tidak sesuai dengan passionnya. Gue meyakini itu karena munculnya refleksi ketidakbahagiaan: keluh kesah, tertekan, dan tidak semangat.

Passion, atau bisa juga disebut calling, merupakan panggilan jiwa sebagai penunjuk kemana langkah seseorang seharusnya. Passion biasanya dirasakan sebagai sebuah gejolak atau ledakan semangat karena melakukan sesuatu yang tanpa kita sadari adalah sumber kebahagiaan. Namun, ironisnya sumber kebahagiaan itu seringkali kita acuhkan.

Gue pun meyakini bahwa passion adalah sebuah program yang diletakkan Tuhan yang mana ia akan menunjukkan jalan kebahagiaan. Dan passion jugalah yang menjadikan kita memiliki peran masing-masing di dunia ini.


Banyak fatamorgana…
Passion itu harus dicari. Begitu menurut buku Your Job is not Your Career – Rene Suhardono yang diamini Yoris Sebastian pada waktu dan tempat berbeda (gue membaca pernyataan Yoris dari sebuah majalah).

Gue tahu itu sudah lama secara gue baca buku Rene sudah lama. Sayangnya, gue baru berusaha merenungkannya malam ini.

Kesibukan sehari-hari gue berwirausaha. Gue memilih tidak bekerja di perusahaan orang lain karena gue selalu merasa tertekan. Wirausaha menawarkan kebebasan waktu dan finansial. Itulah yang gue ingini. Gue memulai dagang kecil-kecilan pada usia 19 tahun. Saat itu masih kuliah semester 3.

Gue terjun ke dunia wirausaha pun tidak sengaja. Saat itu gue dapat tugas mencari info tentang perusahaan multinasional. Entah mengapa, gue tertarik Bakrie Group. Gue searching-lah perusahaan itu. Ternyata yang keluar malah profil Ahmad Bakrie, sang pelopor. Membaca perjuangan Ahmad Bakrie saat membangun usahanya, sungguh sangat mengagumkan.

Singkat cerita, gue jadi tertarik berbisnis. Berharap bisa seperti Ahmad Bakrie dikemudian hari.


Cermin itu…
Malam ini - dan baru sekali-kalinya - gue mempertanyakan hal yang sudah gue anggap mapan: Apa iya passion gue di dunia usaha?

Mengapa gue akhirnya berani bertanya seperti itu? Karena gue masih menemukan ketidakbahagiaan dalam dunia usaha. ketidakbahagiaan bukan lantaran ada masalah lantas gue gentar. Bukan itu. Melainkan gue masih suka merasa jenuh.

Maka selanjutnya akan timbul pertanyaan: Benarkah seseorang akan jenuh bila mengerjakan hal yang ia sukai? Jawabannya gue rasa, tidak benar. Orang yang bekerja sesuai passionnya tidak akan pernah jenuh ataupun lelah.

Tapi ini kok gue merasa jenuh?

Gue mulai meraba. Timbul pertanyaan menggali, hal apa yang benar-benar membuat gue senang sampai lupa waktu?

Setelah gue ingat-ingat, sebelum menggeluti dunia usaha, gue suka banget dengan dunia literatur. Saking sukanya, gue selalu ingat memoar yang berkaitan dengan literatur:

  1. Sewaktu SMP, pas ngisi entah biodata apa, dipertanyaan cita-cita, gue menulis: ingin jadi penulis terkenal.
  2. Nilai matematika Pra-UN SMP gue 2,7! Sebab apa?! Karena hari sebelumnya gue bukannya belajar melainkan baca novel The Hobbit – J.R.R. Tolkien. Yang mana langsung mengantarkan gue masuk ruang karantina plus dipelototin kepsek.
  3. Teman SMA gue pernah bilang, “ Kayaknya elu enjoy banget belajar Bahasa Indonesia.” Percaya atau enggak, nilai bahasa Indonesia gue pernah jadi yang tertinggi seangkatan pas ulangan harian.
  4. Kata orang tua, “ Mama perhatiin, kamu lebih seneng beli buku ketimbang beli baju.” Bapak juga mengatakan hal serupa.
  5. Sejak kelas 2 SMP gue sudah bikin cerpen. Cerpen itu gue puterin ke teman-teman kelas. dan mereka membaca antusias. dalam menulis cerita itu, bisa berjam-jam gue lewati tanpa lelah.
Dan masih banyak lagi hal yang intinya: gue sadari kalau passion gue di dunia literatur.

Well, setelah titik-titik itu telah gue gariskan dan gue yakin, gue akan mengejar passion itu. Gue nggak mau jadi Ujang, Bobby, ataupun Agus yang mengeluh karena pilihan pribadinya mengacuhkan passion. Karena passion juga pilihan, gue lebih memilih passion ketimbang pilihan lain. Because, no passion, no life.


Jumat, 23 November 2012

Sepi

Hari ini sepi. Yang ada hanya gerimis tak bergemuruh. Awet.

Mau ngapa-ngapain juga, perasaan nggak enak. Apalagi ditambah makan mangga busuk. Ough! Menyebalkan!


Ayolah, semangat lagi!
Semoga lima menit ke depan bisa jumpalitan lagi. :))

Jumat, 16 November 2012

Bapak (sebuah testimoni dan ingatan singkat)




“Gue pernah merasa sangat kurang ajar sama Bapak meskipun gue tau Bapak memaklumi itu. kesininya, gue malu.”


Terminologi bapak
Seseorang (laki-laki) dikatakan bapak bila sudah memiliki isteri dan anak. Itu definisi versi gue. Namun begitu, sesuai perkembangan makna, kata bapak itu sendiri telah bertransformasi menjadi lebih lebar yaitu sapaan terhadap orang yang lebih tua (paruh baya bukan paruh buaya. Lagian buaya tak berparuh) dan dunia profesional.

Seperti…

“ Pak Fiqih, laporan bulan Juli belum ada di meja saya.” Pada usia 25 seperti gue saat ini, belum beristeri dan anak sejujurnya agak risih dipanggil bapak. Emangnya, gue bapak-bapak. Tapi itulah cara menghormati laki-laki di dunia profesional. Biar kesannya berwibawa.

Tapi khusus pembahasan kali ini, fokusnya makna bapak yang memiliki isteri dan anak. Dan tentu saja bapak gue.


Kenapa Bapak, tidak Ibu?
Betapa gue sayang keduanya tapi gue lagi mau nulis tentang bapak. Untuk beberapa alasan yang mengganjal: Pertama, gue tidak menemukan hari Ayah yang jatuh pada tanggal 12 November semeriah hari Ibu (catet). Kedua, Yes, karena insya Alloh gue calon Bapak (kata insya Alloh perlu gue sounding setelah baca novel Test Pack). Terakhir, Bapak bisa jenggotan yang mana ibu tak kuasa menumbuhkan janggut sekalipun merendam dagunya.


Sebagai guru favorit, bapak pasti terpental jauh dari status tersebut bila bapak seorang pendidik. Tapi kalo dalam range guru terkiller, bapak menempati top rank. minimal ranking 2.

Sewaktu SD, gue pernah DUA KALI dibantu bapak ngerjain PR. Kalo nggak salah kelas satu atau kelas dua, gitu. Bapak hanya mau ngebantu PR matematika aja. Karena menurut pengakuan bapak, sewaktu SMP nilai rapot matematika bapak 10. Atletis! (Fantastis maksud gue. Backspace laptop gue lagi rusak)

Malam pertama bapak sukses bantuin PR gue.

Gue seneng.

Malam kedua, bapak membawa metode baru dalam belajar. Bentak-bentak.

“ Kalo jarum panjangnya di angka 5, artinya lewat 5!” spidol yang ada di tangan bapak digetok-getok ke papan tulis. “ Kalo jarum panjangnya di angka 10, artinya?”

“ Lewat sepuluh.”

“ Bagus!”

Bapak menggambar tengkorak, eh salah, kata bapak lingkaran. Meskipun mirip tengkorak. Kemudian Bapak memberi tanda pada sisi lingkaran yang dimaksud. Oh, gue nalar. Itu gambar jam buta. Kayak jam bapak yang nggak ada penunjuk angkanya. Dan nggak ada jarumnya.

Lantas Bapak menandai di point tertentu pakai spidol merah.

“ Kalo ini lewat berapa?!”

“…” bapak menaruh titik permisalan di tempat yang gue gak tahu.

“ LEWAT BERAPAAAA?!”

“…” mendengar bapak ngebentak, nyali gue ciut. Jadi males belajar. Gue lirik ibu, ibu lagi ngobrol sama tamu yang naro jahitan. Sesekali ibu juga melirik gue nanar.

Gue nangis.

Belajar selesai.

Malam-malam setelahnya, gue memilih untuk belajar sendiri. Di ruang jahit ibu. Ditemani ibu yang sambil megang jahitan.


Tampil di muka umum
Bapak punya tingkat kegantengan selangit. Gak percaya?! Sama. Namun begitu, rasa percaya diri bapak luar biasa tinggi. Kalah pemancar RCTI. Dan bapak merasa harus menularkan ilmu kanuragannya itu kepada dua anaknya: Aa dan gue.

Caranya…

Tampil di muka umum.

Lewat…

Lomba.

“ De, sebentar lagi RW 06 akan mengadakan malam bakat dan kreatifitas. Isinya lomba. Kamu ikut ya. Udah Bapak daftarin. Kamu ikut lomba puisi. Aa lomba baca Al-Quran.”

Gue iya aja. Takut bapak marah kalo gue protes.

Pas acara, bapak nggak pernah tahu segimana mau matinya gue di atas panggung. Baca puisi AKU Chairul Anwar serasa lagi ngelawak.

Teks yang benar: bila peluru menembus kulitku. Tapi gue baca: bila peluru menembus hatiku. Eeellaaaah sampe kena hati tu peluru. Yang nembak sape, Hah? Yaaa itulah nervous.

Eee taunya di lomba puisi itu gue menang. Aneh.

Orang yang paling tidak menyangka hari itu gue menang adalah gue dan mungkin orang-orang yang menonton penampilan gue.

Sesuai harapan bapak, dari sana PD gue menanjak pemancar RCTI. Seperti bapak. Agak bawahan dikit, deng. Naaah, di situ.


Guardian Angel
Banyak penipuan membuat keluarga kami resah. Dan pas banget kejadian itu hampir saja menimpa ibu.
Hari Minggu. Pagi-pagi ada yang menelepon hape ibu mengabarkan bahwa salah satu om gue yang tinggal di Tanggerang sedang di kantor polisi. Ibu panik, dong. Namanya juga ibu-ibu. Kalo bapak yang panik, bapak-bapak, namanya.

Lanjut…

Melihat ibu panik, bapak langsung merebut hape dari tangan ibu.

“ SIAPA INI!”

Mungkin suara disana langsung menjelaskan masalah bokisnya itu. Mungkin juga di seberang sana bilang sedang ada di kantor polisi dan bilang juga kalo dia polisi.

Soalnya bapak balas menghardik, “ SAYA JUGA POLISI! SAYA AKBP!”

Gue nepok jidat. Bapak jago banget bokisnya.

Akhirnya bapak berhasil membawa kemenangan. Sorry, bukan hanya kemenangan, tapi juga kebahagiaan (kita puas tertawa terpingkal-pingkal).

Gue beruntung hidup di keluarga yang memulai semua ini dengan amat sangat sederhana. Bapak seorang PNS KEMENTAN. Memulai semua betul-betul dari bawah. A short story bapak kuliah lagi demi mendapatkan posisi yang cukuplah buat makan dua anak.

Keputusan bapak kuliah lagi terjadi saat anak-anaknya masih kecil. Logika saat gue besar sekarang, ternyata uang seorang bapak yang baru masuk PNS dan mempunyai keluarga kecil nggak akan cukup untuk hidup sebulan. Apalagi ini ditambah bapak kuliah. Meskipun begitu, toh saat itu kita masih bisa senang-senang. Gue rasa segalanya sudah dipikirkan bapak dan ibu. Termasuk bagaimana mereka merancang solusinya.

Seperti…

Gue inget banget. Waktu itu rumah keluarga kita kecil. Malam hari kita lapar. Bapak mengatur, makan malam tiap jam 10 malam yang menunya mie instan, beli 3, untuk berempat. O iya, rasa Kari Ayam. Karena bapak seneng banget rasa kari ayam.
(sorry, gue emotional. Minta waktu sebentar)

Well (seka air mata), perlu diketahui, gue menceritakan ini tidak dalam konteks sedih menyesali. Justru sebaliknya. Gue sedih karena kangen masa-masa itu. kangen menyodorkan mangkuk merah kecil untuk mendapatkan jatah mie instan. O my God, itu rasanya bahagiaaa banget.

Gue rasa kita layak masuk iklan Indomie. Hihihi.


Atau ini…

Setiap ada satu anggota keluarga yang ulang tahun, kebiasaan di keluarga kami adalah membeli satu liter botol Coca-Cola, lalu kita nikmati bersama. Kami duduk melingkar dan Aa yang menuangkan. Masing-masing dapat jatah satu gelas penuh. Ibu yang minumnya paling sedikit karena dari dulu lambung ibu nggak kuat soda.

Suasana duduk melingkarnya itu sungguh merindukan. Gue masih inget banget saat ibu menuangkan Coca-Cola dari gelasnya ke gelas gue. Dan setelahnya kita kembali kepada kesibukan masing-masing.


Hingga saatnya…

Keluarga kami baru merasakan punya mobil pribadi enak. Dulu sih pernah punya, tapi tidak sukses melunasi. Diakhiri dengan over kredit ke teman Bapak. Saat itu Ekonomi keluarga kita belum kuat.

Gue merasakan pertumbuhan keluarga ini. Gue menikmati itu. Tentu saja dengan Bapak sebagai nahkodanya.

Kebutuhan. Itulah yang bapak selalu ajarkan secara tersirat dalam menggunakan anggaran. Kalau belum butuh, tahan dulu. Alihkan dulu untuk pemenuhan kebutuhan yang lebih mendesak. Seperti akhirnya kami membeli sebuah mobil keluarga.

“ Bapak malu,” kata bapak saat menikmati perjalanan dari jakarta menuju Garut dengan mobil tersebut. “ Bapak sama ibu udah rapih-rapih ke kondangan, masa pulangnya jalan kaki.”

FYI, di suatu acara resepsi pernikahan tetangga kami, bapak dan ibu datang memenuhi undangan. Awalnya berjalan lancar karena tidak ada masalah dengan kendaraan umum (taksi). Pulangnya baru bermasalah. Karena letak gedung yang susah dari akses kendaraan umum (becak sekalipun), bapak sama ibu harus jalan kaki dulu ke depan. Jauh memang. Harus melewati beberapa blok komplek dulu untuk sampai di jalan utama. Jalan itu juga setau gue kalo malam sepi.

“ Bapak nggak tega ngeliat Ibu udah dandan cantik-cantik, eh malah jalan kaki.” tutup bapak mengisahkan.

Gue tertawa garing. Padahal lagi nahan air mata. Bapak gue, galak-galak gini, berhati malaikat juga.


Paling akrab sama gue
Dibanding sama Aa, bapak cenderung akrab sama gue. Seberapa besar tingkat keakrabannya, itu terlihat dari apa-apa bapak nyuruh gue. Oh, nggak ya. Hheee.

Yaaa intinya Bapak lebih banyak ngabisin waktu sama gue dibanding sama Aa. Sekalipun pada saat Aa belum menikah. Kalo mau belanja bulanan, ngajak gue. Kalo mau belanja bahan bangunan, ngajak gue. Nganterin ke shelter busway, gue. Jemput sorenya, gue juga. Sampe nyuci piring, bapak maunya gue yang ngerjain.


Kita selalu ledek-ledekan
Saking akrabnya kita, kalo lagi bertiga di rumah, gue suka ledek-ledekan sama bapak. Misalnya ngomongin belajar nyetir mobil. Bapak dengan tingkat PD melebihi menara RCTI bilang lebih jago dari gue. Tapi pas kemarin gue gap-in bumper depan hampir nyeret tembok, gantian gue yang ledekin.

Terakhir ini. Gue yang kena ledek. 2-1, ya Pak

“ Ah, kamu mah lemot.”

“ Aku nggak lemot, kok. Cuma hati-hati.” Gigi udah masuk. Lepas kopling pelan-pelan. Eh, tapi kok gak jalan?

“ Itu," Bapak menunjuk. " Rem tangan belum diturunin.”

“ Oh. Kalo ini lagi ngetes gas dulu, Pak.”

“ Ngetes gak kok masuk gigi?” gerutu bapak sambil buang muka ke kiri. Gue baru sadar. Oon.


Kado sempurna
Usia gue memasuki 25 sekarang. Dan hari-hari ke depan praktis menuju 26. Entah mengapa usia segitu tidak terkesan muda lagi buat gue. Gue seperti diuber-uber planning yang harus gue selesaikan. Terlalu besar harapan gue diusia 25 yang mana gue rancang mulai dari usia 17 dan isinya tuh muluk-muluk.

Entah mengapa, planning besar itu sepertinya menakutkan…

Well, namun begitu, gue teringat fase hidup saat gue masuk kamar operasi. Waktu itu gue masih TK. Selesai operasi, pas sadar, gue nanya ke ibu, “ Bapak mana, Bu?”
Ibu jawab, “ Lagi bayar rumah sakit biar kamu cepat pulang.”

20 tahun kemudian gue mulai mengerti ucapan ibu.

Menjadi seorang bapak, haruslah siap menjadi panutan keluarga. Bapaklah yang harus mengarahkan. Bapaklah yang harus memutuskan. Bapaklah yang harus membentuk karakter keluarganya. Termasuk bapak juga yang harus mengambil segala resiko keluarga di depan.

Seperti saat bapak mengeluarkan uang banyak untuk operasi gue. Bagaimana kalo saat itu bapak tidak berani Mungkin kalau saat ini, uang segitu alhamdulillah tidak masalah buat keluarga kami sekalipun dikonfersikan berdasarkan moneter. Tapi waktu itu, jumlah itu terasa besar. Oleh sebab itu bapak berani berhutang.

Bapak mengambil resiko berhutang, berani merusak segala planning keuangan yang udah disusun, demi gue, anaknya.

Sampai akhirnya gue menyadari disatu titik: bahwasanya galaknya seorang bapak itu sebagai bentuk kekhawatiran kalau keluarga yang diamanahkan kepadanya tidak sehat dan tidak kuat.

Tidak ada bapak yang ingin melihat anaknya menderita. Dengan alasan apapun.

Terima kasih Tuhan. Kado ini terlalu sempurna buat saya.

Terima kasih telah mengaruniakan saya seorang bapak seperti Bapak.



Jakarta, 15 November 2012

Sabtu, 10 November 2012

Tentang Blog Ini


Berawal dari suka baca

SMP, gue berkenalan dengan seorang teman. Dari penampilannya, dia anak pinter.
Setelah perkenalan memasuki tahap akrab, gue baru tahu kalau ternyata dia anggota OSIS. Jadi gue mengerti kenapa dia pinter.

Status dia sebagai anak pintar, gue perhatiin dia senang baca buku. Mulai dari komik, majalah game, Zig Ziglar, Maxwell, dan banyak lagi buku yang untuk nulis nama penulisnya aja gue bingung.

Dan dia mulai menyebarkan epideminya.

“ Fiq, lo baca nih. The Art of War-nya Sun Tzu.”

Di lain kesempatan

“ Fiq, Anekdot orang-orang besar. J. Maurus.”

“ Elo mesti baca bukunya Maxwell, Fiq.”

“ Ini keren, Fiq.” dia nyodorin sebuah buku tebal. “ Bagaimana unta bertahan di tengah badai pasir!” buku filosofis bombastis, pikir gue. Yang mana mungkin secara biologis dia mengira gue dan unta dalam genus yang sama.

Akhirnya, semua buku yang tiap pekan dia sodorin ke gue, gue terima dengan mikir: Oh come on, kita masih kelas 2 SMP, Sob. Masih seneng-senengnya main bola pas pulang sekolah. Masih seneng-senengnya main PS. Masih seneng-senengnya bikin surat cinta buat temen cewek. Tapi lo kok malah bergaul sama buku-buku aneh begini. Kalau mau juga jangan buku-buku berat begini. Yang ringan-ringan aja. Lupus, misalnya. Lagian siapa juga yang pengen perang sampe-sampe baca buku strategi perang Sun Tzu. Kecuali kita seneng tawuran. Lha ini, dipalak aja langsung kita kasih. Ongkos bajaj kita.


A short story, gue jadi suka baca. Karena dia.


Blog-blog awal
Dari suka baca inilah, gue jadi ingin nulis sesuatu. Gue pikir, blog adalah media paling tepat.

Gue memutuskan untuk masuk di blogspot.com. Karena ini yang pertama kali ada di otak gue dan cukup mudah ngebuatnya selain gratis.

Blog pertama gue judulnya: Landak De Milo. Isinya cerita fiksi karangan gue tanpa teknik menulis. Hanya modal inspirasi. Berakhir dengan tidak diteruskan di tengah cerita dan gue males berimajinasi. Akhirnya gue lupa passwordnya. Cakeeep.

Blog kedua, judulnya: kolom Lev. Isinya tentang segala 'isi kepala' gue. Yang mana setelah lama nggak gue baca dan gue baca setelah tidur 9 abad, kok rasanya nyebelin. Sotoy tingkat tinggi. But hey, dari blog kedua ini tulisannya mulai rada bagus. Singkat, padat. Cuman pemilihan diksinya aja yang keliatan sok hebat. Berakhir dengan: lagi-lagi males buka dan lupa pass-nya.

Bikin baru lagi...

Blog ketiga, gue buat di catatan Facebook atas nama Fiqih Fahlevi. Isinya lebih banyak dan panjang-panjang. Menceritakan pengalaman gue. Motivasinya pengen banget nerbitin buku. Berakhir tragis dengan gue men-deactivated akun gue itu. Alasannya karena hasil print out tulisan gue yang gue kirim ke penerbit dipulangin.



Blog sebagai lab menulis
Gue meyakini, blog merupakan lab bagi mereka yang senang menulis. Atau senang bercerita. Atau senang membaca. Bagaimana tidak, mereka dapat mengekspresikan/menemukan tulisan-tulisan ke/dari media yang semua orang bisa lihat. Blog seperti papan tulis di mana ruang kelasnya bumi.

Mau tau resep cah kangkung? Ada aja orang yang menulis resep cah kangkung lezat. Mau tau teknik menulis biar oke? Banyak juga orang yang memiliki artikel tersebut di blognya. Mau apalagi? Walktrough game? Ada! Cheat? Ada juga. Hampir semua pembahasan sisi kehidupan ada.

Oleh karena itulah gue ingin nge-blog.

Ada banyak blog yang lumayan jadi favorit gue karena enak dibaca. Seperti: suamigila.com; solehsolihun.blogspot.com; alandakariza.com; radityadika.com; dan masih banyak lagi yang lain.



Harapan ini menjadi blog yang terakhir
Terakhir, setelah lama bertualang mencari gaya nulis, pada blog inilah gue merasa gaya menulis gue keluar orisinil. Enggak ikut-ikutan orang lain lagi. Nggak ikut-ikutan gaya nulisnya Hilman Hariwijaya (Lupus’s series) lagi. Enggak ikut-ikut gaya nulis Raditya Dika lagi. Karena, itu yang justru bikin enak dibaca dan berbeda dari blog-blog yang sudah ada.


Sewaktu kecil, gue ngaji TPA. Di sana diajarkan baca-tulis Al-Quran. Juga dikenalkan 99 Asma’ul husna (nama-nama baik Alloh SWT). Di antara 99 nama indah itu, salah satunya adalah Alloh Maha Kekal.

Saat gue beranjak dewasa, di acara 165 ESQ way, dikatakan oleh Dr (HC). Ary Ginanjar Agustian bahwa ruh yang ditiupkan Alloh SWT ke dalam diri setiap insan mengandung potensi sifat-sifat ketuhanan. Sebut, Maha Pengasih, artinya kita memiliki potensi untuk saling mengasihi. Mendermakan harta terbaik kita. Maha penyayang, artinya sesama manusia harus saling hormat dan menyayangi. Tapi bagaimana dengan Maha Kekal?!

Sekarang gue menyadari. Kita pun punya potensi untuk itu. Maha Kekal mengajarkan kita untuk terus berprestasi agar nama kita Kekal.

Menulis (boleh jadi) merupakan proses menuju keabadian. Fisik manusia pasti mati, tapi tulisan kita tidak akan pernah mati.

So, itulah kesimpulan blog ini. Tujuan utamanya adalah harapan membuat gue abadi.

regards :)

Minggu, 04 November 2012

Karena perkenalan itu membahagiakan…


Kenalin. Gue, Mochamad Fiqih Fahlevi. Sedari SD sampai ngetik tengkurep sekarang ini masih setia memakai nama itu. Karena ada lho, temen SMP gue yang ganti nama. Gaya bener.

Anyway, diciptakan nama panggilan tentu untuk meringkas nama orang-orang yang ter-eja panjang. Seperti gue, misalnya. Gak mungkin kan pas kita ketemu nanti elu manggil gue dari jauh, “Oi, Mochamad Fiqih Fahlevi!”. Kepanjangan. Apalagi itu dengan tanda seru. Yang mana artinya elu manggil gue dengan setengah teriak, teriak, atau teriak setengah mati. Maka boleh dibayangkan kalo sikonnya: jarak antara kita 100 meter dan gue budek. So, untuk memudahkan, cukup panggil gue Fiqih. Semisal gue budek pun, elu gak perlu susah payah manggil gue.


Kelahiran Jakarta. Tepatnya di wilayah Jakarta Selatan. Bukan di kebun binatang Ragunan. Melainkan di Pasar Minggu.

Lanjut...

Karena gue gak se-eksentrik Fesbukers yang nulis tanggal lahir aja diumpet-umpetin, terutama tahunnya, di sini gue dengan senang hati akan me-reveal tanggal lahir gue PLUS TAHUNNYA. 15 November 1987.

Tahun ini (2012) praktis usia gue 25. Dengan nasib beda jauh dari Fabregas atau Messi tentunya.


Kemudian tinggi badan. Mengapa hal ini penting gue kasih tahu, karena gue ingin menyelamatkan kehormatan orang tua gue. Demi Tuhan, mereka selalu ngasih makan yang enak-enak dan bergizi. Bukan ragi.

Well, tinggi gue sebagai cowok Asia, sebagai cowok Indonesia, yaaa, cukuplah. Kan cowok Asia nggak kayak cowok Eropa. Enggak kayak cowok Amerika. Cowok asiiii… ah sudahlah, 163cm!


Berkacamata. Lagi nyoba frame kotak-sedang. Ini untuk menyamarkan pipi gue yang menggemuk. Minus 3. Dan gue selalu berdoa untuk tidak nambah lagi. Karena kalo kata @blogdokter, mata minus itu tidak akan berkurang kecuali dengan operasi lasik. Makan wortel?? Ah, lupakan… kata @blogdokter itu gak ngefek (tweet itu sampe gue jadiin fav).


Iseng-iseng googling karakter manusia…

Suka-gak suka, dari 4 karakter manusia, gue terdeteksi sebagai melankolis. Ciri menonjol melankolis, yang gue inget, itu tipikal perfectsionist. Artinya, gue perfectsionist. Yang cenderung penakut.

Orang perfectsionist biasanya serius. Dan yeah, gue serius. Apakah gue bisa ngelucu, kagak bisa!
                
“ Yud,” kata gue ke Yudi, dengan nada dan tatapan serius. Yudi mendekatkan telinganya. “ itu di rambut lo ada anak kelabang.”


Gue juga merasa sebagai pemerhati. Gue lebih senang memperhatikan apa yang gue lihat ketimbang sekedar melihat. Kalo di buku Sherlock Holmes dikatakan, berbeda antara melihat dan memperhatikan. Memperhatikan itu lebih spesifik dan dalam.

Kalo misalkan gue ketemu cewek hanya melihat saja, gue tidak mendapatkan kesan dia. Lain hal kalo gue memperhatikan dia. Mungkin gue akan menemukan; oh, belahan rambutnya ke samping kiri; oh, kalungnya perak berinisial K; oh, di kerahnya ada noda coklat; oh, sepatunya Kickers hak sedang; dll.

Kebiasaan itu sudah gue rasakan sejak kecil. Awalnya gue takut itu suatu kelainan. Tapi sekarang gue mensyukuri.


Banyak teman bilang, gue takutan. Well, gue merasakan. Tapi ada alasannya. Dan akan gue jelaskan.

Memang, kekhawatiran jadi sifat gue. Padahal gue nggak ngeganja. Mungkin karena turunan dari melankolis itu.

Tipikal orang melankolis itu senang punya landasan kuat. Punya akar kuat. Punya pijakan yang kuat. Punya alasan kuat. Karena bila suatu saat angin topan datang, yakin gue, si melankolis mampu bertahan.

So, alasan yang buat gue jadi takutan yaitu bilamana gue belum memiliki landasan/alasan kuat untuk memulai/melakukan sesuatu.

Itu karena apapun yang gue kerjakan, gue ingin sempurna.

Konsep sempurnanya gue: kepuasan batin gue. Jadi bukan semata-mata apa kata orang.


Gue juga seneng menulis, bercerita, membaca, memperhatikan yang unik-unik, dan selalu antusias belajar dunia literatur.


Sekarang gue lagi sibuk bantuin temen ngembangin usaha franchise Pizza Rakyat. Ada beberapa cabang yang mesti gue kelola. Beberapa cabang adalah gambaran pusingnya ngurus itu semua. Tapi sejujurnya, seru. Banyak belajar konsep manajemen sederhana dan kepemimpinan. Dan dari keduanya itu, gue mendapatkan ilmu baru: manajemen merawat cambang dan kumis agar tampak berwibawa.


O, ya. Gue juga pemalu.


Oookay, itu aja yang dapat gue suguhin tentang diri gue.

Jauh dari sempurna?? Ah sudahlah.

Apa?! Menurut kamu sempurna?! Ngeledek!