“Gue pernah merasa sangat kurang ajar
sama Bapak meskipun gue tau Bapak memaklumi itu. kesininya, gue malu.”
Terminologi bapak
Seseorang
(laki-laki) dikatakan bapak bila sudah memiliki isteri dan anak. Itu definisi
versi gue. Namun begitu, sesuai perkembangan makna, kata bapak itu sendiri
telah bertransformasi menjadi lebih lebar yaitu sapaan terhadap orang yang
lebih tua (paruh baya bukan paruh buaya. Lagian buaya tak berparuh) dan dunia
profesional.
Seperti…
“
Pak Fiqih, laporan bulan Juli belum ada di meja saya.” Pada usia 25 seperti gue
saat ini, belum beristeri dan anak sejujurnya agak risih dipanggil bapak.
Emangnya, gue bapak-bapak. Tapi itulah cara menghormati laki-laki di dunia
profesional. Biar kesannya berwibawa.
Tapi
khusus pembahasan kali ini, fokusnya makna bapak yang memiliki isteri dan anak.
Dan tentu saja bapak gue.
Kenapa Bapak, tidak Ibu?
Betapa
gue sayang keduanya tapi gue lagi mau nulis tentang bapak. Untuk beberapa
alasan yang mengganjal: Pertama, gue tidak
menemukan hari Ayah yang jatuh pada tanggal 12 November semeriah hari Ibu
(catet). Kedua, Yes, karena insya
Alloh gue calon Bapak (kata insya Alloh perlu gue sounding setelah baca novel
Test Pack). Terakhir, Bapak bisa jenggotan
yang mana ibu tak kuasa menumbuhkan janggut sekalipun merendam dagunya.
Sebagai guru favorit, bapak pasti terpental jauh dari status tersebut bila bapak seorang pendidik. Tapi kalo dalam range guru
terkiller, bapak menempati top rank. minimal ranking 2.
Sewaktu
SD, gue pernah DUA KALI dibantu bapak ngerjain PR. Kalo nggak salah kelas satu
atau kelas dua, gitu. Bapak hanya mau ngebantu PR matematika aja. Karena
menurut pengakuan bapak, sewaktu SMP nilai rapot matematika bapak 10. Atletis!
(Fantastis maksud gue. Backspace laptop gue lagi rusak)
Malam
pertama bapak sukses bantuin PR gue.
Gue
seneng.
Malam
kedua, bapak membawa metode baru dalam belajar. Bentak-bentak.
“ Kalo jarum panjangnya di angka 5, artinya lewat 5!”
spidol yang ada di tangan bapak digetok-getok ke papan tulis. “ Kalo jarum
panjangnya di angka 10, artinya?”
“ Lewat sepuluh.”
“ Bagus!”
Bapak menggambar tengkorak, eh salah, kata bapak
lingkaran. Meskipun mirip tengkorak. Kemudian Bapak memberi tanda pada sisi
lingkaran yang dimaksud. Oh, gue nalar. Itu gambar jam buta. Kayak jam bapak
yang nggak ada penunjuk angkanya. Dan nggak ada jarumnya.
Lantas Bapak menandai di point tertentu pakai spidol
merah.
“ Kalo ini lewat berapa?!”
“…” bapak menaruh titik permisalan di tempat yang gue
gak tahu.
“ LEWAT BERAPAAAA?!”
“…” mendengar bapak ngebentak, nyali gue ciut. Jadi
males belajar. Gue lirik ibu, ibu lagi ngobrol sama tamu yang naro jahitan.
Sesekali ibu juga melirik gue nanar.
Gue nangis.
Belajar selesai.
Malam-malam
setelahnya, gue memilih untuk belajar sendiri. Di ruang jahit ibu. Ditemani ibu
yang sambil megang jahitan.
Tampil di muka umum
Bapak
punya tingkat kegantengan selangit. Gak percaya?! Sama. Namun begitu, rasa percaya
diri bapak luar biasa tinggi. Kalah pemancar RCTI. Dan bapak merasa harus
menularkan ilmu kanuragannya itu kepada dua anaknya: Aa dan gue.
Caranya…
Tampil
di muka umum.
Lewat…
Lomba.
“
De, sebentar lagi RW 06 akan mengadakan malam bakat dan kreatifitas. Isinya
lomba. Kamu ikut ya. Udah Bapak daftarin. Kamu ikut lomba puisi. Aa lomba baca
Al-Quran.”
Gue
iya aja. Takut bapak marah kalo gue protes.
Pas
acara, bapak nggak pernah tahu segimana mau matinya gue di atas panggung. Baca
puisi AKU Chairul Anwar serasa lagi ngelawak.
Teks
yang benar: bila peluru menembus kulitku. Tapi gue baca: bila peluru menembus
hatiku. Eeellaaaah sampe kena hati tu peluru. Yang nembak sape, Hah? Yaaa
itulah nervous.
Eee
taunya di lomba puisi itu gue menang. Aneh.
Orang
yang paling tidak menyangka hari itu gue menang adalah gue dan mungkin orang-orang
yang menonton penampilan gue.
Sesuai
harapan bapak, dari sana PD gue menanjak pemancar RCTI. Seperti bapak. Agak
bawahan dikit, deng. Naaah, di situ.
Guardian Angel
Banyak
penipuan membuat keluarga kami resah. Dan pas banget kejadian itu hampir saja
menimpa ibu.
Hari
Minggu. Pagi-pagi ada yang menelepon hape ibu mengabarkan bahwa salah satu om
gue yang tinggal di Tanggerang sedang di kantor polisi. Ibu panik, dong.
Namanya juga ibu-ibu. Kalo bapak yang panik, bapak-bapak, namanya.
Lanjut…
Melihat
ibu panik, bapak langsung merebut hape dari tangan ibu.
“
SIAPA INI!”
Mungkin
suara disana langsung menjelaskan masalah bokisnya itu. Mungkin juga di seberang
sana bilang sedang ada di kantor polisi dan bilang juga kalo dia polisi.
Soalnya
bapak balas menghardik, “ SAYA JUGA POLISI! SAYA AKBP!”
Gue
nepok jidat. Bapak jago banget bokisnya.
Akhirnya
bapak berhasil membawa kemenangan. Sorry, bukan hanya kemenangan, tapi juga
kebahagiaan (kita puas tertawa terpingkal-pingkal).
Gue
beruntung hidup di keluarga yang memulai semua ini dengan amat sangat
sederhana. Bapak seorang PNS KEMENTAN. Memulai semua betul-betul dari bawah. A
short story bapak kuliah lagi demi mendapatkan posisi yang cukuplah buat makan
dua anak.
Keputusan
bapak kuliah lagi terjadi saat anak-anaknya masih kecil. Logika saat gue besar
sekarang, ternyata uang seorang bapak yang baru masuk PNS dan mempunyai
keluarga kecil nggak akan cukup untuk hidup sebulan. Apalagi ini ditambah bapak
kuliah. Meskipun begitu, toh saat itu kita masih bisa senang-senang. Gue rasa segalanya
sudah dipikirkan bapak dan ibu. Termasuk bagaimana mereka merancang solusinya.
Seperti…
Gue
inget banget. Waktu itu rumah keluarga kita kecil. Malam hari kita lapar. Bapak
mengatur, makan malam tiap jam 10 malam yang menunya mie instan, beli 3, untuk
berempat. O iya, rasa Kari Ayam. Karena bapak seneng banget rasa kari ayam.
(sorry, gue emotional. Minta waktu
sebentar)
Well
(seka air mata), perlu diketahui, gue menceritakan ini tidak dalam konteks
sedih menyesali. Justru sebaliknya. Gue sedih karena kangen masa-masa itu.
kangen menyodorkan mangkuk merah kecil untuk mendapatkan jatah mie instan. O my
God, itu rasanya bahagiaaa banget.
Gue
rasa kita layak masuk iklan Indomie. Hihihi.
Atau
ini…
Setiap
ada satu anggota keluarga yang ulang tahun, kebiasaan di keluarga kami adalah
membeli satu liter botol Coca-Cola, lalu kita nikmati bersama. Kami duduk
melingkar dan Aa yang menuangkan. Masing-masing dapat jatah satu gelas penuh.
Ibu yang minumnya paling sedikit karena dari dulu lambung ibu nggak kuat soda.
Suasana
duduk melingkarnya itu sungguh merindukan. Gue masih inget banget saat ibu
menuangkan Coca-Cola dari gelasnya ke gelas gue. Dan setelahnya kita kembali
kepada kesibukan masing-masing.
Hingga
saatnya…
Keluarga kami baru merasakan punya mobil pribadi enak. Dulu sih pernah
punya, tapi tidak sukses melunasi. Diakhiri dengan over kredit ke teman Bapak.
Saat itu Ekonomi keluarga kita belum kuat.
Gue
merasakan pertumbuhan keluarga ini. Gue menikmati itu. Tentu saja dengan Bapak
sebagai nahkodanya.
Kebutuhan.
Itulah yang bapak selalu ajarkan secara tersirat dalam menggunakan anggaran.
Kalau belum butuh, tahan dulu. Alihkan dulu untuk pemenuhan kebutuhan yang
lebih mendesak. Seperti akhirnya kami membeli sebuah mobil keluarga.
“
Bapak malu,” kata bapak saat menikmati perjalanan dari jakarta menuju Garut
dengan mobil tersebut. “ Bapak sama ibu udah rapih-rapih ke kondangan, masa
pulangnya jalan kaki.”
FYI,
di suatu acara resepsi pernikahan tetangga kami, bapak dan ibu datang memenuhi
undangan. Awalnya berjalan lancar karena tidak ada masalah dengan kendaraan
umum (taksi). Pulangnya baru bermasalah. Karena letak gedung yang susah dari
akses kendaraan umum (becak sekalipun), bapak sama ibu harus jalan kaki dulu ke
depan. Jauh memang. Harus melewati beberapa blok komplek dulu untuk sampai di
jalan utama. Jalan itu juga setau gue kalo malam sepi.
“
Bapak nggak tega ngeliat Ibu udah dandan cantik-cantik, eh malah jalan kaki.” tutup
bapak mengisahkan.
Gue
tertawa garing. Padahal lagi nahan air mata. Bapak gue, galak-galak gini, berhati
malaikat juga.
Paling akrab sama gue
Dibanding
sama Aa, bapak cenderung akrab sama gue. Seberapa besar tingkat keakrabannya,
itu terlihat dari apa-apa bapak nyuruh gue. Oh, nggak ya. Hheee.
Yaaa
intinya Bapak lebih banyak ngabisin waktu sama gue dibanding sama Aa. Sekalipun
pada saat Aa belum menikah. Kalo mau belanja bulanan, ngajak gue. Kalo mau
belanja bahan bangunan, ngajak gue. Nganterin ke shelter busway, gue. Jemput
sorenya, gue juga. Sampe nyuci piring, bapak maunya gue yang ngerjain.
Kita selalu ledek-ledekan
Saking
akrabnya kita, kalo lagi bertiga di rumah, gue suka ledek-ledekan sama bapak.
Misalnya ngomongin belajar nyetir mobil. Bapak dengan tingkat PD melebihi
menara RCTI bilang lebih jago dari gue. Tapi pas kemarin gue gap-in bumper
depan hampir nyeret tembok, gantian gue yang ledekin.
Terakhir
ini. Gue yang kena ledek. 2-1, ya Pak
“
Ah, kamu mah lemot.”
“
Aku nggak lemot, kok. Cuma hati-hati.” Gigi udah masuk. Lepas kopling
pelan-pelan. Eh, tapi kok gak jalan?
“
Itu," Bapak menunjuk. " Rem tangan belum diturunin.”
“
Oh. Kalo ini lagi ngetes gas dulu, Pak.”
“ Ngetes gak kok masuk gigi?” gerutu bapak sambil buang muka ke kiri. Gue baru
sadar. Oon.
Kado sempurna
Usia
gue memasuki 25 sekarang. Dan hari-hari ke depan praktis menuju 26. Entah
mengapa usia segitu tidak terkesan muda lagi buat gue. Gue seperti diuber-uber
planning yang harus gue selesaikan. Terlalu besar harapan gue diusia 25 yang mana
gue rancang mulai dari usia 17 dan isinya tuh muluk-muluk.
Entah
mengapa, planning besar itu sepertinya menakutkan…
Well,
namun begitu, gue teringat fase hidup saat gue masuk kamar operasi. Waktu itu
gue masih TK. Selesai operasi, pas sadar, gue nanya ke ibu, “ Bapak mana, Bu?”
Ibu
jawab, “ Lagi bayar rumah sakit biar kamu cepat pulang.”
20
tahun kemudian gue mulai mengerti ucapan ibu.
Menjadi
seorang bapak, haruslah siap menjadi panutan keluarga. Bapaklah yang harus
mengarahkan. Bapaklah yang harus memutuskan. Bapaklah yang harus membentuk
karakter keluarganya. Termasuk bapak juga yang harus mengambil segala resiko
keluarga di depan.
Seperti
saat bapak mengeluarkan uang banyak untuk operasi gue. Bagaimana kalo saat itu
bapak tidak berani Mungkin kalau saat ini, uang segitu alhamdulillah tidak
masalah buat keluarga kami sekalipun dikonfersikan berdasarkan moneter. Tapi
waktu itu, jumlah itu terasa besar. Oleh sebab itu bapak berani berhutang.
Bapak
mengambil resiko berhutang, berani merusak segala planning keuangan yang udah
disusun, demi gue, anaknya.
Sampai
akhirnya gue menyadari disatu titik: bahwasanya galaknya seorang bapak itu
sebagai bentuk kekhawatiran kalau keluarga yang diamanahkan kepadanya tidak
sehat dan tidak kuat.
Tidak
ada bapak yang ingin melihat anaknya menderita. Dengan alasan apapun.
Terima
kasih Tuhan. Kado ini terlalu sempurna buat saya.
Terima
kasih telah mengaruniakan saya seorang bapak seperti Bapak.
Jakarta, 15 November 2012