Jumat, 16 November 2012

Bapak (sebuah testimoni dan ingatan singkat)




“Gue pernah merasa sangat kurang ajar sama Bapak meskipun gue tau Bapak memaklumi itu. kesininya, gue malu.”


Terminologi bapak
Seseorang (laki-laki) dikatakan bapak bila sudah memiliki isteri dan anak. Itu definisi versi gue. Namun begitu, sesuai perkembangan makna, kata bapak itu sendiri telah bertransformasi menjadi lebih lebar yaitu sapaan terhadap orang yang lebih tua (paruh baya bukan paruh buaya. Lagian buaya tak berparuh) dan dunia profesional.

Seperti…

“ Pak Fiqih, laporan bulan Juli belum ada di meja saya.” Pada usia 25 seperti gue saat ini, belum beristeri dan anak sejujurnya agak risih dipanggil bapak. Emangnya, gue bapak-bapak. Tapi itulah cara menghormati laki-laki di dunia profesional. Biar kesannya berwibawa.

Tapi khusus pembahasan kali ini, fokusnya makna bapak yang memiliki isteri dan anak. Dan tentu saja bapak gue.


Kenapa Bapak, tidak Ibu?
Betapa gue sayang keduanya tapi gue lagi mau nulis tentang bapak. Untuk beberapa alasan yang mengganjal: Pertama, gue tidak menemukan hari Ayah yang jatuh pada tanggal 12 November semeriah hari Ibu (catet). Kedua, Yes, karena insya Alloh gue calon Bapak (kata insya Alloh perlu gue sounding setelah baca novel Test Pack). Terakhir, Bapak bisa jenggotan yang mana ibu tak kuasa menumbuhkan janggut sekalipun merendam dagunya.


Sebagai guru favorit, bapak pasti terpental jauh dari status tersebut bila bapak seorang pendidik. Tapi kalo dalam range guru terkiller, bapak menempati top rank. minimal ranking 2.

Sewaktu SD, gue pernah DUA KALI dibantu bapak ngerjain PR. Kalo nggak salah kelas satu atau kelas dua, gitu. Bapak hanya mau ngebantu PR matematika aja. Karena menurut pengakuan bapak, sewaktu SMP nilai rapot matematika bapak 10. Atletis! (Fantastis maksud gue. Backspace laptop gue lagi rusak)

Malam pertama bapak sukses bantuin PR gue.

Gue seneng.

Malam kedua, bapak membawa metode baru dalam belajar. Bentak-bentak.

“ Kalo jarum panjangnya di angka 5, artinya lewat 5!” spidol yang ada di tangan bapak digetok-getok ke papan tulis. “ Kalo jarum panjangnya di angka 10, artinya?”

“ Lewat sepuluh.”

“ Bagus!”

Bapak menggambar tengkorak, eh salah, kata bapak lingkaran. Meskipun mirip tengkorak. Kemudian Bapak memberi tanda pada sisi lingkaran yang dimaksud. Oh, gue nalar. Itu gambar jam buta. Kayak jam bapak yang nggak ada penunjuk angkanya. Dan nggak ada jarumnya.

Lantas Bapak menandai di point tertentu pakai spidol merah.

“ Kalo ini lewat berapa?!”

“…” bapak menaruh titik permisalan di tempat yang gue gak tahu.

“ LEWAT BERAPAAAA?!”

“…” mendengar bapak ngebentak, nyali gue ciut. Jadi males belajar. Gue lirik ibu, ibu lagi ngobrol sama tamu yang naro jahitan. Sesekali ibu juga melirik gue nanar.

Gue nangis.

Belajar selesai.

Malam-malam setelahnya, gue memilih untuk belajar sendiri. Di ruang jahit ibu. Ditemani ibu yang sambil megang jahitan.


Tampil di muka umum
Bapak punya tingkat kegantengan selangit. Gak percaya?! Sama. Namun begitu, rasa percaya diri bapak luar biasa tinggi. Kalah pemancar RCTI. Dan bapak merasa harus menularkan ilmu kanuragannya itu kepada dua anaknya: Aa dan gue.

Caranya…

Tampil di muka umum.

Lewat…

Lomba.

“ De, sebentar lagi RW 06 akan mengadakan malam bakat dan kreatifitas. Isinya lomba. Kamu ikut ya. Udah Bapak daftarin. Kamu ikut lomba puisi. Aa lomba baca Al-Quran.”

Gue iya aja. Takut bapak marah kalo gue protes.

Pas acara, bapak nggak pernah tahu segimana mau matinya gue di atas panggung. Baca puisi AKU Chairul Anwar serasa lagi ngelawak.

Teks yang benar: bila peluru menembus kulitku. Tapi gue baca: bila peluru menembus hatiku. Eeellaaaah sampe kena hati tu peluru. Yang nembak sape, Hah? Yaaa itulah nervous.

Eee taunya di lomba puisi itu gue menang. Aneh.

Orang yang paling tidak menyangka hari itu gue menang adalah gue dan mungkin orang-orang yang menonton penampilan gue.

Sesuai harapan bapak, dari sana PD gue menanjak pemancar RCTI. Seperti bapak. Agak bawahan dikit, deng. Naaah, di situ.


Guardian Angel
Banyak penipuan membuat keluarga kami resah. Dan pas banget kejadian itu hampir saja menimpa ibu.
Hari Minggu. Pagi-pagi ada yang menelepon hape ibu mengabarkan bahwa salah satu om gue yang tinggal di Tanggerang sedang di kantor polisi. Ibu panik, dong. Namanya juga ibu-ibu. Kalo bapak yang panik, bapak-bapak, namanya.

Lanjut…

Melihat ibu panik, bapak langsung merebut hape dari tangan ibu.

“ SIAPA INI!”

Mungkin suara disana langsung menjelaskan masalah bokisnya itu. Mungkin juga di seberang sana bilang sedang ada di kantor polisi dan bilang juga kalo dia polisi.

Soalnya bapak balas menghardik, “ SAYA JUGA POLISI! SAYA AKBP!”

Gue nepok jidat. Bapak jago banget bokisnya.

Akhirnya bapak berhasil membawa kemenangan. Sorry, bukan hanya kemenangan, tapi juga kebahagiaan (kita puas tertawa terpingkal-pingkal).

Gue beruntung hidup di keluarga yang memulai semua ini dengan amat sangat sederhana. Bapak seorang PNS KEMENTAN. Memulai semua betul-betul dari bawah. A short story bapak kuliah lagi demi mendapatkan posisi yang cukuplah buat makan dua anak.

Keputusan bapak kuliah lagi terjadi saat anak-anaknya masih kecil. Logika saat gue besar sekarang, ternyata uang seorang bapak yang baru masuk PNS dan mempunyai keluarga kecil nggak akan cukup untuk hidup sebulan. Apalagi ini ditambah bapak kuliah. Meskipun begitu, toh saat itu kita masih bisa senang-senang. Gue rasa segalanya sudah dipikirkan bapak dan ibu. Termasuk bagaimana mereka merancang solusinya.

Seperti…

Gue inget banget. Waktu itu rumah keluarga kita kecil. Malam hari kita lapar. Bapak mengatur, makan malam tiap jam 10 malam yang menunya mie instan, beli 3, untuk berempat. O iya, rasa Kari Ayam. Karena bapak seneng banget rasa kari ayam.
(sorry, gue emotional. Minta waktu sebentar)

Well (seka air mata), perlu diketahui, gue menceritakan ini tidak dalam konteks sedih menyesali. Justru sebaliknya. Gue sedih karena kangen masa-masa itu. kangen menyodorkan mangkuk merah kecil untuk mendapatkan jatah mie instan. O my God, itu rasanya bahagiaaa banget.

Gue rasa kita layak masuk iklan Indomie. Hihihi.


Atau ini…

Setiap ada satu anggota keluarga yang ulang tahun, kebiasaan di keluarga kami adalah membeli satu liter botol Coca-Cola, lalu kita nikmati bersama. Kami duduk melingkar dan Aa yang menuangkan. Masing-masing dapat jatah satu gelas penuh. Ibu yang minumnya paling sedikit karena dari dulu lambung ibu nggak kuat soda.

Suasana duduk melingkarnya itu sungguh merindukan. Gue masih inget banget saat ibu menuangkan Coca-Cola dari gelasnya ke gelas gue. Dan setelahnya kita kembali kepada kesibukan masing-masing.


Hingga saatnya…

Keluarga kami baru merasakan punya mobil pribadi enak. Dulu sih pernah punya, tapi tidak sukses melunasi. Diakhiri dengan over kredit ke teman Bapak. Saat itu Ekonomi keluarga kita belum kuat.

Gue merasakan pertumbuhan keluarga ini. Gue menikmati itu. Tentu saja dengan Bapak sebagai nahkodanya.

Kebutuhan. Itulah yang bapak selalu ajarkan secara tersirat dalam menggunakan anggaran. Kalau belum butuh, tahan dulu. Alihkan dulu untuk pemenuhan kebutuhan yang lebih mendesak. Seperti akhirnya kami membeli sebuah mobil keluarga.

“ Bapak malu,” kata bapak saat menikmati perjalanan dari jakarta menuju Garut dengan mobil tersebut. “ Bapak sama ibu udah rapih-rapih ke kondangan, masa pulangnya jalan kaki.”

FYI, di suatu acara resepsi pernikahan tetangga kami, bapak dan ibu datang memenuhi undangan. Awalnya berjalan lancar karena tidak ada masalah dengan kendaraan umum (taksi). Pulangnya baru bermasalah. Karena letak gedung yang susah dari akses kendaraan umum (becak sekalipun), bapak sama ibu harus jalan kaki dulu ke depan. Jauh memang. Harus melewati beberapa blok komplek dulu untuk sampai di jalan utama. Jalan itu juga setau gue kalo malam sepi.

“ Bapak nggak tega ngeliat Ibu udah dandan cantik-cantik, eh malah jalan kaki.” tutup bapak mengisahkan.

Gue tertawa garing. Padahal lagi nahan air mata. Bapak gue, galak-galak gini, berhati malaikat juga.


Paling akrab sama gue
Dibanding sama Aa, bapak cenderung akrab sama gue. Seberapa besar tingkat keakrabannya, itu terlihat dari apa-apa bapak nyuruh gue. Oh, nggak ya. Hheee.

Yaaa intinya Bapak lebih banyak ngabisin waktu sama gue dibanding sama Aa. Sekalipun pada saat Aa belum menikah. Kalo mau belanja bulanan, ngajak gue. Kalo mau belanja bahan bangunan, ngajak gue. Nganterin ke shelter busway, gue. Jemput sorenya, gue juga. Sampe nyuci piring, bapak maunya gue yang ngerjain.


Kita selalu ledek-ledekan
Saking akrabnya kita, kalo lagi bertiga di rumah, gue suka ledek-ledekan sama bapak. Misalnya ngomongin belajar nyetir mobil. Bapak dengan tingkat PD melebihi menara RCTI bilang lebih jago dari gue. Tapi pas kemarin gue gap-in bumper depan hampir nyeret tembok, gantian gue yang ledekin.

Terakhir ini. Gue yang kena ledek. 2-1, ya Pak

“ Ah, kamu mah lemot.”

“ Aku nggak lemot, kok. Cuma hati-hati.” Gigi udah masuk. Lepas kopling pelan-pelan. Eh, tapi kok gak jalan?

“ Itu," Bapak menunjuk. " Rem tangan belum diturunin.”

“ Oh. Kalo ini lagi ngetes gas dulu, Pak.”

“ Ngetes gak kok masuk gigi?” gerutu bapak sambil buang muka ke kiri. Gue baru sadar. Oon.


Kado sempurna
Usia gue memasuki 25 sekarang. Dan hari-hari ke depan praktis menuju 26. Entah mengapa usia segitu tidak terkesan muda lagi buat gue. Gue seperti diuber-uber planning yang harus gue selesaikan. Terlalu besar harapan gue diusia 25 yang mana gue rancang mulai dari usia 17 dan isinya tuh muluk-muluk.

Entah mengapa, planning besar itu sepertinya menakutkan…

Well, namun begitu, gue teringat fase hidup saat gue masuk kamar operasi. Waktu itu gue masih TK. Selesai operasi, pas sadar, gue nanya ke ibu, “ Bapak mana, Bu?”
Ibu jawab, “ Lagi bayar rumah sakit biar kamu cepat pulang.”

20 tahun kemudian gue mulai mengerti ucapan ibu.

Menjadi seorang bapak, haruslah siap menjadi panutan keluarga. Bapaklah yang harus mengarahkan. Bapaklah yang harus memutuskan. Bapaklah yang harus membentuk karakter keluarganya. Termasuk bapak juga yang harus mengambil segala resiko keluarga di depan.

Seperti saat bapak mengeluarkan uang banyak untuk operasi gue. Bagaimana kalo saat itu bapak tidak berani Mungkin kalau saat ini, uang segitu alhamdulillah tidak masalah buat keluarga kami sekalipun dikonfersikan berdasarkan moneter. Tapi waktu itu, jumlah itu terasa besar. Oleh sebab itu bapak berani berhutang.

Bapak mengambil resiko berhutang, berani merusak segala planning keuangan yang udah disusun, demi gue, anaknya.

Sampai akhirnya gue menyadari disatu titik: bahwasanya galaknya seorang bapak itu sebagai bentuk kekhawatiran kalau keluarga yang diamanahkan kepadanya tidak sehat dan tidak kuat.

Tidak ada bapak yang ingin melihat anaknya menderita. Dengan alasan apapun.

Terima kasih Tuhan. Kado ini terlalu sempurna buat saya.

Terima kasih telah mengaruniakan saya seorang bapak seperti Bapak.



Jakarta, 15 November 2012