Selasa, 27 November 2012

No Passion, No Life (mengejar passion)


Passion karya Tuhan
“ Gue gak semangat kerja di sana.” ujar Ujang lesu.

“ Gue capek. Capek hati, capek fisik, capek pikiran. Pokoknya cape!” keluh Bobby yang ke-gap lagi ngomong sama guling.

“ PUSIIING!” Agus menghujam kepalanya ke tumpukan kapas. Karena dia tidak ingin kepalanya benjut-benjut.

“ Aaargh!” oh sorry, yang ini si Cecep. Teriak bukan karena kerjaan. Tapi lagi diurut patah tulang.


Well, dari cuplikan di atas, gue berani berpendapat bahwa mereka (minus Cecep), bekerja tidak sesuai dengan passionnya. Gue meyakini itu karena munculnya refleksi ketidakbahagiaan: keluh kesah, tertekan, dan tidak semangat.

Passion, atau bisa juga disebut calling, merupakan panggilan jiwa sebagai penunjuk kemana langkah seseorang seharusnya. Passion biasanya dirasakan sebagai sebuah gejolak atau ledakan semangat karena melakukan sesuatu yang tanpa kita sadari adalah sumber kebahagiaan. Namun, ironisnya sumber kebahagiaan itu seringkali kita acuhkan.

Gue pun meyakini bahwa passion adalah sebuah program yang diletakkan Tuhan yang mana ia akan menunjukkan jalan kebahagiaan. Dan passion jugalah yang menjadikan kita memiliki peran masing-masing di dunia ini.


Banyak fatamorgana…
Passion itu harus dicari. Begitu menurut buku Your Job is not Your Career – Rene Suhardono yang diamini Yoris Sebastian pada waktu dan tempat berbeda (gue membaca pernyataan Yoris dari sebuah majalah).

Gue tahu itu sudah lama secara gue baca buku Rene sudah lama. Sayangnya, gue baru berusaha merenungkannya malam ini.

Kesibukan sehari-hari gue berwirausaha. Gue memilih tidak bekerja di perusahaan orang lain karena gue selalu merasa tertekan. Wirausaha menawarkan kebebasan waktu dan finansial. Itulah yang gue ingini. Gue memulai dagang kecil-kecilan pada usia 19 tahun. Saat itu masih kuliah semester 3.

Gue terjun ke dunia wirausaha pun tidak sengaja. Saat itu gue dapat tugas mencari info tentang perusahaan multinasional. Entah mengapa, gue tertarik Bakrie Group. Gue searching-lah perusahaan itu. Ternyata yang keluar malah profil Ahmad Bakrie, sang pelopor. Membaca perjuangan Ahmad Bakrie saat membangun usahanya, sungguh sangat mengagumkan.

Singkat cerita, gue jadi tertarik berbisnis. Berharap bisa seperti Ahmad Bakrie dikemudian hari.


Cermin itu…
Malam ini - dan baru sekali-kalinya - gue mempertanyakan hal yang sudah gue anggap mapan: Apa iya passion gue di dunia usaha?

Mengapa gue akhirnya berani bertanya seperti itu? Karena gue masih menemukan ketidakbahagiaan dalam dunia usaha. ketidakbahagiaan bukan lantaran ada masalah lantas gue gentar. Bukan itu. Melainkan gue masih suka merasa jenuh.

Maka selanjutnya akan timbul pertanyaan: Benarkah seseorang akan jenuh bila mengerjakan hal yang ia sukai? Jawabannya gue rasa, tidak benar. Orang yang bekerja sesuai passionnya tidak akan pernah jenuh ataupun lelah.

Tapi ini kok gue merasa jenuh?

Gue mulai meraba. Timbul pertanyaan menggali, hal apa yang benar-benar membuat gue senang sampai lupa waktu?

Setelah gue ingat-ingat, sebelum menggeluti dunia usaha, gue suka banget dengan dunia literatur. Saking sukanya, gue selalu ingat memoar yang berkaitan dengan literatur:

  1. Sewaktu SMP, pas ngisi entah biodata apa, dipertanyaan cita-cita, gue menulis: ingin jadi penulis terkenal.
  2. Nilai matematika Pra-UN SMP gue 2,7! Sebab apa?! Karena hari sebelumnya gue bukannya belajar melainkan baca novel The Hobbit – J.R.R. Tolkien. Yang mana langsung mengantarkan gue masuk ruang karantina plus dipelototin kepsek.
  3. Teman SMA gue pernah bilang, “ Kayaknya elu enjoy banget belajar Bahasa Indonesia.” Percaya atau enggak, nilai bahasa Indonesia gue pernah jadi yang tertinggi seangkatan pas ulangan harian.
  4. Kata orang tua, “ Mama perhatiin, kamu lebih seneng beli buku ketimbang beli baju.” Bapak juga mengatakan hal serupa.
  5. Sejak kelas 2 SMP gue sudah bikin cerpen. Cerpen itu gue puterin ke teman-teman kelas. dan mereka membaca antusias. dalam menulis cerita itu, bisa berjam-jam gue lewati tanpa lelah.
Dan masih banyak lagi hal yang intinya: gue sadari kalau passion gue di dunia literatur.

Well, setelah titik-titik itu telah gue gariskan dan gue yakin, gue akan mengejar passion itu. Gue nggak mau jadi Ujang, Bobby, ataupun Agus yang mengeluh karena pilihan pribadinya mengacuhkan passion. Karena passion juga pilihan, gue lebih memilih passion ketimbang pilihan lain. Because, no passion, no life.