Minggu, 04 November 2012

Karena perkenalan itu membahagiakan…


Kenalin. Gue, Mochamad Fiqih Fahlevi. Sedari SD sampai ngetik tengkurep sekarang ini masih setia memakai nama itu. Karena ada lho, temen SMP gue yang ganti nama. Gaya bener.

Anyway, diciptakan nama panggilan tentu untuk meringkas nama orang-orang yang ter-eja panjang. Seperti gue, misalnya. Gak mungkin kan pas kita ketemu nanti elu manggil gue dari jauh, “Oi, Mochamad Fiqih Fahlevi!”. Kepanjangan. Apalagi itu dengan tanda seru. Yang mana artinya elu manggil gue dengan setengah teriak, teriak, atau teriak setengah mati. Maka boleh dibayangkan kalo sikonnya: jarak antara kita 100 meter dan gue budek. So, untuk memudahkan, cukup panggil gue Fiqih. Semisal gue budek pun, elu gak perlu susah payah manggil gue.


Kelahiran Jakarta. Tepatnya di wilayah Jakarta Selatan. Bukan di kebun binatang Ragunan. Melainkan di Pasar Minggu.

Lanjut...

Karena gue gak se-eksentrik Fesbukers yang nulis tanggal lahir aja diumpet-umpetin, terutama tahunnya, di sini gue dengan senang hati akan me-reveal tanggal lahir gue PLUS TAHUNNYA. 15 November 1987.

Tahun ini (2012) praktis usia gue 25. Dengan nasib beda jauh dari Fabregas atau Messi tentunya.


Kemudian tinggi badan. Mengapa hal ini penting gue kasih tahu, karena gue ingin menyelamatkan kehormatan orang tua gue. Demi Tuhan, mereka selalu ngasih makan yang enak-enak dan bergizi. Bukan ragi.

Well, tinggi gue sebagai cowok Asia, sebagai cowok Indonesia, yaaa, cukuplah. Kan cowok Asia nggak kayak cowok Eropa. Enggak kayak cowok Amerika. Cowok asiiii… ah sudahlah, 163cm!


Berkacamata. Lagi nyoba frame kotak-sedang. Ini untuk menyamarkan pipi gue yang menggemuk. Minus 3. Dan gue selalu berdoa untuk tidak nambah lagi. Karena kalo kata @blogdokter, mata minus itu tidak akan berkurang kecuali dengan operasi lasik. Makan wortel?? Ah, lupakan… kata @blogdokter itu gak ngefek (tweet itu sampe gue jadiin fav).


Iseng-iseng googling karakter manusia…

Suka-gak suka, dari 4 karakter manusia, gue terdeteksi sebagai melankolis. Ciri menonjol melankolis, yang gue inget, itu tipikal perfectsionist. Artinya, gue perfectsionist. Yang cenderung penakut.

Orang perfectsionist biasanya serius. Dan yeah, gue serius. Apakah gue bisa ngelucu, kagak bisa!
                
“ Yud,” kata gue ke Yudi, dengan nada dan tatapan serius. Yudi mendekatkan telinganya. “ itu di rambut lo ada anak kelabang.”


Gue juga merasa sebagai pemerhati. Gue lebih senang memperhatikan apa yang gue lihat ketimbang sekedar melihat. Kalo di buku Sherlock Holmes dikatakan, berbeda antara melihat dan memperhatikan. Memperhatikan itu lebih spesifik dan dalam.

Kalo misalkan gue ketemu cewek hanya melihat saja, gue tidak mendapatkan kesan dia. Lain hal kalo gue memperhatikan dia. Mungkin gue akan menemukan; oh, belahan rambutnya ke samping kiri; oh, kalungnya perak berinisial K; oh, di kerahnya ada noda coklat; oh, sepatunya Kickers hak sedang; dll.

Kebiasaan itu sudah gue rasakan sejak kecil. Awalnya gue takut itu suatu kelainan. Tapi sekarang gue mensyukuri.


Banyak teman bilang, gue takutan. Well, gue merasakan. Tapi ada alasannya. Dan akan gue jelaskan.

Memang, kekhawatiran jadi sifat gue. Padahal gue nggak ngeganja. Mungkin karena turunan dari melankolis itu.

Tipikal orang melankolis itu senang punya landasan kuat. Punya akar kuat. Punya pijakan yang kuat. Punya alasan kuat. Karena bila suatu saat angin topan datang, yakin gue, si melankolis mampu bertahan.

So, alasan yang buat gue jadi takutan yaitu bilamana gue belum memiliki landasan/alasan kuat untuk memulai/melakukan sesuatu.

Itu karena apapun yang gue kerjakan, gue ingin sempurna.

Konsep sempurnanya gue: kepuasan batin gue. Jadi bukan semata-mata apa kata orang.


Gue juga seneng menulis, bercerita, membaca, memperhatikan yang unik-unik, dan selalu antusias belajar dunia literatur.


Sekarang gue lagi sibuk bantuin temen ngembangin usaha franchise Pizza Rakyat. Ada beberapa cabang yang mesti gue kelola. Beberapa cabang adalah gambaran pusingnya ngurus itu semua. Tapi sejujurnya, seru. Banyak belajar konsep manajemen sederhana dan kepemimpinan. Dan dari keduanya itu, gue mendapatkan ilmu baru: manajemen merawat cambang dan kumis agar tampak berwibawa.


O, ya. Gue juga pemalu.


Oookay, itu aja yang dapat gue suguhin tentang diri gue.

Jauh dari sempurna?? Ah sudahlah.

Apa?! Menurut kamu sempurna?! Ngeledek!