Hidup saya pernah redup. Mengambang.
Tidak mempunyai masa, dan tidak tahu pasti kemana arahnya.
Ini seperti berdiri di tengah
padang luas, sendirian, dan tidak ada teman yang bisa diajak makan siomay.
Sangat sepi.
Merenung merupakan pilihan
terbaik untuk mencoba menemukan titik balik.
Ini soal determinasi…
Namanya Audrian. Saat ini
gelar SH tersemat mengikuti nama lengkapnya, Muhammad Audrian. Lulusan fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Well, saya akan cerita sedikit tentang Audrian
sebelum ia mendapatkan gelar tersebut.
Dia bukanlah orang yang
terampil berbicara. Maaf, bicaranya sulit dimengerti karena diucapkan terburu-buru.
Saya satu SMP dengan dia dilanjut ke SMA yang sama dan juga satu organisasi
yang sama pas SMA. Saya kenal betul karakternya.
Cerita saya awali dari… Saya
ingat saat kita baru lulus SMP. Nilai UN dia di bawah saya. Saat itu dia
berkata yakin bisa masuk SMA unggulan impian kita. Saya tertawa, lantas bilang,
bagaimana mungkin, wong nilai saya yang lebih tinggi dari dia saja tidak yakin.
Apalagi setelah melihat kenyataan peringkat saya terus melorot di kertas
penerimaan siswa baru di SMA tersebut, mana mungkin, itu mustahil. Mendengar
itu, dia terdiam lalu bilang, “ Ah, elo ngerusak mimpi gue aja.”
Tuhan berkehendak kita masuk
SMA yang sama. Bukan SMA unggulan yang kita kehendaki dari awal.
Waktu terus berjalan, hingga
sampailah masa SPMB. A short story, kita tidak lulus SPMB. Saya santai saja,
tapi dia begitu menyesali. Dia marah terhadap dirinya sendiri. Saat itu saya
menepuk pundaknya dan tekekeh, “ Sudahlah.”
Namun kenyataan berbalik
setahun kemudian.
Hilang kontak menyebabkan
kita tidak saling tahu kabar masing-masing.
Hingga di tahun 2008, saya
membuat akun Facebook dan saya mendapati kenyataan bahwa Audrian sedang
menempuh pendidikan S1 Hukum UI. How can?
Ternyata, saat dia tidak lulus
SPMB, dia memendam dendam untuk tetap masuk S1 Hukum UI. Entah
bagaimana ceritanya, dia tinggalkan D3 UI-nya, kemudian dia berfokus ikut
semacam program “belajar lagi” di sebuah bimbingan belajar. Hasilnya, di tahun
2007, dia mampu menembus Hukum UI. Saya ternganga mengetahui kabar itu.
Ada lagi…
Namanya Erlan. Dia juga teman
SMA.
Selepas SMA, dia diterima di Fakultas
MIPA UI, jurusan Biologi. Ironisnya, dia merasa jurusan Biologi bukanlah
cita-citanya. Itu hanya pilihan nomor dua. Mimpinya, Teknik Sipil UI. Konflik
batin terjadi.
Ia sempatkan cerita ke
teman-temannya. Termasuk saya. Sampai akhirnya dia sendiri yang menawarkan opsi
untuk drop out.
Saya terkejut.
Sebisa mungkin saya cegah
pilihan Erlan itu. Terlalu beresiko. Hari itu juga, segala kemungkinan saya
paparkan. Segala resiko saya suguhkan agar Erlan lebih memahami hal yang
mungkin saja ia lalai memperhitungkan dalam mengambil keputusan.
Tapi dia tidak bergeming…
Tekadnya bulat. Dia lebih
memilih drop out dan kemudian fokus mengikuti program “belajar lagi” di sebuah
bimbingan belajar. Demi sebuah mimpi, Teknik Sipil UI.
Dia terus belajar dan
belajar. Berlatih dan terus berlatih soal. Determinasinya luar biasa.
Di tahun yang sama dengan
Audrian masuk Hukum UI, Erlan lulus. Masuk teknik sipil UI.
Mengetahui kabar itu, saya
terdiam. Merasa kalah dengan determinasinya yang luar biasa itu.
Dua cerita di atas yang saya
dapat dari merenung dan mengingat masa lalu, menjadi bagian penting cara
memperoleh kesuksesan. Audrian dan Erlan mengajarkan bahwa kemauan kuat,
determinasi tinggi, dan doa yang tak kunjung putus, mampu mewujudkan mimpi-mimpi
kita.
Kesalahan saya adalah
membiarkan kekalahan tanpa pembalasan. Mestinya saya berpikir, kemenangan
adalah keharusan. Tidak ada toleransi. Keberhasilan adalah pilihan. Karena
pilihan, maka ada konsekuensi dan pengorbanan. Nikmati saja.
Terakhir, tentu saja saya
akan meng-copy-paste kegigihan (determinasi) mereka.
Thanks, Bro.