Kamis, 27 Desember 2012

Bantuin Jokowi, yuk!

Kalo nggak salah, hari sabtu yang lalu, tgl 22 Desember 2012, menjadi hari macet plus banjir terparah di Jakarta dan sekitarnya. Pasalnya karena curah hujan yang tinggi. Seperi dikutip dari laman vivanews.com, BMKG menyatakan bahwa pada hari itu curah hujan paling tinggi dibanding siklus lima tahun yang lalu, tahun 2007.

Makanya, daerah langganan banjir pasti kelelep. Contohnya aja di kp. Melayu. Masya Alloh, bisa sampai 3,5 meter!

Jalan-jalan protokol juga tergenang air. Menyebabkan mobil berhenti tidak bisa menerobos.

Well, melihat, mendengar, dan mengetahui kabar tersebut, saya jadi miris. Belum lagi, Gubernur yang baru terpilih, Joko Widodo, langsung mendapat tantangan dan pertanyaan seputar keseriusannya membenahi salah satu penyakit Jakarta, banjir.

Padahal kalau mau mendengar kata pakar sejarah dan tata kota, DKI Jakarta memang daerah yang lumrah dengan banjir. Menurut yang saya baca, itu mengapa dari zaman Belanda, pihak kolonial membuat kanal-kanal persis seperti di Belanda. Karena rupanya Jakarta dengan Belanda memiliki karakteristik tata kota yang sama.

Namun, terlepas dari itu, saya yakin walaupun per periodenya kita harus menghadapi banjir, tetap saja bisa kita pangkas tingkat resikonya.

Contoh Kuala Lumpur. Tahun 2007 juga kelelep banjir. Tapi sekarang mereka membuat semacam terowongan untuk mengalirkan air hujan. Belum tahu efeknya, tapi sampai saat ini tidak terdengar kabar KL kelelep banjir lagi.

Oleh karena itu, sebagai warga muda DKI, saya mau membagi 3 (tiga) gagasan untuk - setidaknya - mengurangi risiko banjir. Atau dalam bahasa kerennya, " Saya mau bantuin Jokowi."

Pertama, perbanyak saluran air dan bersihkan.
Saluran air, atau biasa kita sebut selokan, mempunyai peran penting dalam mengalirkan air. Tetangga saya yang di sekelilingnya tidak ada saluran air, menjadi bulan-bulanan kalau musim hujan tiba. Selalu saja air berhasil masuk ke dalam rumah.

Namun setelah ia membuat saluran air, meskipun kecil, saat hujan berikutnya, rumahnya aman. Tidak kebanjiran lagi. Cara berpikirnya cukup sederhana: buat saluran ke arah yang lebih rendah (mengikuti prinsip air mengalir ke tempat lebih rendah).

Setelah aliran kecil tersebut dibuat, selanjutnya arahkan ke selokan yang lebih besar. Nah, biasanya di sini juga bermasalah. Selokan penuh sampah dan batu. Sampah dan batu akan menghambat laju airOleh sebab itu adakanlah kerja bakti seminggu sekali.

Selain sampah dan batu, saya sering memperhatikan selokan jadi tidak berfungsi karena timbunan semen dan pasir karena sebelumnya rumah di depan selokan tersebut sedang dibangun. Tukang yang sembarangan menimbun adukan paris-semen di selokan, dengan tingkat pengetahuan rendah tentang arti penting selokan, saya rasa perlu dibilangin supaya tidak mengaduk semen di selokan.


Kedua, Biopori.
Ide lubang resapan biopori ini sudah disounding dari lama. bahkan pemerintahan saat itu, era Fauzi Bowo, telah menerapkan konsep ini.

Kalau saya baca tentang biopori, wow, ide sederhana yang keren. Malahan sewaktu kuliah Studi Kelayakan Bisnis, saya mengikuti lomba membuat SKB dengan menggagas biopori sebagai usaha saya. Saya baca sebuah artikel di Koran Jakarta, bahwa DKI Jakarta perlu setidaknya 1 juta-an lubang resapan biopori untuk mengurangi banjir.






Mengenai fungsi, lubang resapan biopori termasuk multi-fungsi. Ianya adalah sebagai resapan air, terus sebagai penggembur tanah, kemudian lagi sebagai perbaikan struktur tanah, dan masih banyak lagi yang mungkin sapat kita googling.

Cara buatnya gampang. Di rumah saya ada lima titik di pekarangan. Membuatnya bisa dengan alat bor biopori yang bisa kita dapatkan di internet atau bisa juga kita gali lubang.


Lanjut yang terakhir...

Ketiga, budaya membuang sampah.
Well, di antara ketiga solusi yang saya berikan, rasanya agak sulit untuk solusi yang ketiga ini. Hhaaa, saya sampai putus asa dengan budaya membuang sampah orang Indonesia. Well, meskipun sulit, tapi kalau dimulai dari diri sendiri, saya rasa bisa.

Buanglah sampah pada tempatnya, sebaiknya tidak hanya menjadi jargon untuk kebersihan saja. Melainkan untuk melawan banjir. Nah, mungkin para advertiser ke depannya bisa membuat iklan yang bertajuk sampah sama dengan banjir. Dan pasanglah di billboard-billboard jalan protokol. Tentu dengan kata-kata yang nyelekit. Misal, Ada gambar orang buang sampah dari dalam mobil, terus di bawahnya ada tulisan sederhana tapi mengena: Dialah penyebab banjir! Penjelasannya: di sini kita memang harus mencari siapa yang salah. Karena orang yang salah cenderung malu dan selalu gelisah. Intinya adalah, serang kesadarannya.


Akhirnya...
Tiga hal itu yang kiranya dapat saya beri kepada bapak Jokowi. Tiga hal yang pernah saya lakukan dan alhamdulillah rumah saya tidak kebanjiran.


#regards