Minggu, 09 Desember 2012

Thinker Dell


Judul di atas hanya plesetan dari nama tokoh kartun, Tinkerbell.

Barusan saya membaca tulisan tentang Michael Dell, si empunya Dell computer. Di sebutkan dalam artikel tersebut bahwa Dell pernah tercatat sebagai orang terkaya ke-11 di Amerika dengan kekayaan mencapai 15,8 miliar dolar AS.


Oke, yang membuat saya tertarik tentu saja bukan semata-mata dia masuk dalam jajaran orang-orang terkaya di Amerika. Tapi lebih dari itu. Kalau predikat orang terkaya merupakan akibat, maka sebabnyalah yang membuat saya tertarik.

Bagaimana bisa dia tercatat sebagai orang terkaya nomor 11 di Amerika?

Ternyata rahasianya ada pada pemikiran Dell yang sederhana. Dia mengatakan, dia hanya lebih berminat mencetak uang hari ini ketimbang memimpikan skema yang mungkin atau mungkin tidak dapat mencetak uang esok harinya. Singkatnya, Dell mengambil kesuksesan dari ide yang sudah ada dan mengeksekusinya dengan lebih baik.

See? Sesederhana itu…

Jadi diceritakan, semua dimulai saat Dell berusia 15 tahun. Ia membeli sebuah komputer Apple II dengan uang yang dihasilkannya dari menjual prangko. Dia membongkar komputer itu dan menemukan bahwa komponen-komponennya dibuat oleh perusahaan-perusahaan lain, bukan Apple. Dia berpikir, jika dia tahu di mana bisa membeli komponen-komponen itu dan bagaimana cara merangkainya, dia pasti dapat membuat komputernya sendiri.

Termasuk cara ia memastikan barang yang dipesan melalui pos, diterima langsung lewat pengiriman langsung. Pola ini memutus rantai distribusi. Akibatnya, harga komputer bisa jauh lebih murah dibanding IBM atau Apple.

Cerdas ya?


Di dunia usaha Indonesia, khususnya di sektor UMKM, cara berpikir Dell itu seperti jargon ATM, yang sering disounding para motivator Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Yaitu singkatan dari Amati-Tiru-Modifikasi. Dari rumus itu, akhirnya banyak usaha kecil yang mulai tumbuh seperti jamur dimusim hujan dan rata-rata seragam.

Well, mengaitkan pemikiran Dell dengan dunia usaha mikro di Indonesia, saya merasa seperti ada yang belum tuntas mempelajari bab ini. Yaitu para sarjana yang mengambil karier di dunia usaha.

Begini. Entah kapan, saya membaca twit Rhenald Kasali tentang dunia usaha saat ini. Inti twit beliau adalah menyayangkan anak muda sekarang yang notabenenya sarjana, hanya berpikir untuk membangun usaha berbasis gerobak.

Beliau membandingkan dengan eranya Sukanto Tanoto, yang masih muda saja sudah mempunyai pabrik penggilingan kertas sendiri dan sekarang melejit menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia dan dunia.

See? Let’s think.



Dunia usaha tidak akan naik kelas bila berpikirnya: seorang sarjana mau usaha yang berfokus hanya pada gerobak.

Bagaimana mungkin pemuda Indonesia bisa melejit seperti pemuda di negara maju bila berpikirnya tidak besar?

Yang membedakan pemuda saat ini dengan era Sukanto Tanoto adalah pendidikan. Bila era saat ini pemudanya mengenyam bangku pendidikan lebih dari cukup, mengapa masih mau berpikir gerobak? 

Para pelaku usaha dijajaran gerobak biarlah orang yang memang usaha kecil-kecilan. Seorang sarjana yang bertekad menjadi wirausahawan sejati seharusnya tidak bertarung dengan mereka, para pelaku usaha mikro kecil menengah. Apalagi mereka juga warga negara Indonesia. Para sarjana harusnya mengambil “jatah kue” lebih besar dengan bergerak dibidang industri dan mulai merintis bermain dikancah Internasional.

Lalu apakah salah dengan (katakanlah) jurus ATM? Tentu tidak salah. Bahkan seorang Michael Dell pun memakai jurus itu, bukan? Yang jadi salah adalah ketika jurus itu tidak membuat pikiran kita naik kelas atau besar.

Para sarjana seharusnya belajar dari hal-hal besar. Dari perusahaan-perusahaan besar yang berskala industri besar.


Jadi, mengapa tulisan ini saya angkat, intinya saya ingin menarik benang merah bahwa: (sebut saja) thinker Dell + Sarjana + entrepreneurship = industri besar.

Yuk kita bergerak ke arah sana. Pastikan bukan kita yang menjadi pesaing tukang bakso lantaran kita buka usaha bakso. Bukan kita yang jadi pesaing tukang siomay lantaran kita buka usaha siomay. Selain karena kita sebenarnya sanggup masuk di dunia industri besar, percayalah, pendahulu-pandahulu kita yang sekarang sudah sepuh yang menjalankan bisnis besar pun menanti pengganti-penggantinya.

#nite


*tentang Michael Dell saya baca dari buku 100 Great Business Ideas - Emily Ross & Angus Holland