Judul
di atas hanya plesetan dari nama tokoh kartun, Tinkerbell.
Barusan
saya membaca tulisan tentang Michael Dell, si empunya Dell computer. Di
sebutkan dalam artikel tersebut bahwa Dell pernah tercatat sebagai orang
terkaya ke-11 di Amerika dengan kekayaan mencapai 15,8 miliar dolar AS.
Oke,
yang membuat saya tertarik tentu saja bukan semata-mata dia masuk dalam jajaran
orang-orang terkaya di Amerika. Tapi lebih dari itu. Kalau predikat orang
terkaya merupakan akibat, maka sebabnyalah yang membuat saya tertarik.
Bagaimana
bisa dia tercatat sebagai orang terkaya nomor 11 di Amerika?
Ternyata
rahasianya ada pada pemikiran Dell yang sederhana. Dia mengatakan, dia hanya
lebih berminat mencetak uang hari ini ketimbang memimpikan skema yang mungkin
atau mungkin tidak dapat mencetak uang esok harinya. Singkatnya, Dell mengambil
kesuksesan dari ide yang sudah ada dan mengeksekusinya dengan lebih baik.
See?
Sesederhana itu…
Jadi
diceritakan, semua dimulai saat Dell berusia 15 tahun. Ia membeli sebuah
komputer Apple II dengan uang yang dihasilkannya dari menjual prangko. Dia
membongkar komputer itu dan menemukan bahwa komponen-komponennya dibuat oleh
perusahaan-perusahaan lain, bukan Apple. Dia berpikir, jika dia tahu di mana
bisa membeli komponen-komponen itu dan bagaimana cara merangkainya, dia pasti
dapat membuat komputernya sendiri.
Termasuk cara ia memastikan
barang yang dipesan melalui pos, diterima langsung lewat pengiriman langsung.
Pola ini memutus rantai distribusi. Akibatnya, harga komputer bisa jauh lebih
murah dibanding IBM atau Apple.
Cerdas ya?
Di dunia usaha Indonesia,
khususnya di sektor UMKM, cara berpikir Dell itu seperti jargon ATM, yang
sering disounding para motivator Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Yaitu singkatan
dari Amati-Tiru-Modifikasi. Dari rumus itu, akhirnya banyak usaha kecil yang
mulai tumbuh seperti jamur dimusim hujan dan rata-rata seragam.
Well, mengaitkan pemikiran
Dell dengan dunia usaha mikro di Indonesia, saya merasa seperti ada yang belum
tuntas mempelajari bab ini. Yaitu para sarjana yang mengambil karier di dunia
usaha.
Begini. Entah kapan, saya
membaca twit Rhenald Kasali tentang dunia usaha saat ini. Inti twit beliau
adalah menyayangkan anak muda sekarang yang notabenenya sarjana, hanya berpikir
untuk membangun usaha berbasis gerobak.
Beliau membandingkan dengan
eranya Sukanto Tanoto, yang masih muda saja sudah mempunyai pabrik penggilingan
kertas sendiri dan sekarang melejit menjadi salah satu orang terkaya di
Indonesia dan dunia.
See? Let’s think.
Dunia usaha tidak akan naik
kelas bila berpikirnya: seorang sarjana mau usaha yang berfokus hanya pada
gerobak.
Bagaimana mungkin pemuda
Indonesia bisa melejit seperti pemuda di negara maju bila berpikirnya tidak besar?
Yang membedakan pemuda saat
ini dengan era Sukanto Tanoto adalah pendidikan. Bila era saat ini pemudanya
mengenyam bangku pendidikan lebih dari cukup, mengapa masih mau berpikir
gerobak?
Para pelaku usaha dijajaran gerobak
biarlah orang yang memang usaha kecil-kecilan. Seorang sarjana yang bertekad
menjadi wirausahawan sejati seharusnya tidak bertarung dengan mereka, para
pelaku usaha mikro kecil menengah. Apalagi mereka juga warga negara Indonesia. Para sarjana harusnya mengambil “jatah kue”
lebih besar dengan bergerak dibidang industri dan mulai merintis bermain dikancah Internasional.
Lalu apakah salah dengan
(katakanlah) jurus ATM? Tentu tidak salah. Bahkan seorang Michael Dell pun
memakai jurus itu, bukan? Yang jadi salah adalah ketika jurus itu tidak membuat
pikiran kita naik kelas atau besar.
Para sarjana seharusnya belajar
dari hal-hal besar. Dari perusahaan-perusahaan besar yang berskala industri
besar.
Jadi, mengapa tulisan ini
saya angkat, intinya saya ingin menarik benang merah bahwa: (sebut saja)
thinker Dell + Sarjana + entrepreneurship = industri besar.
Yuk kita bergerak ke arah
sana. Pastikan bukan kita yang menjadi pesaing tukang bakso lantaran kita buka
usaha bakso. Bukan kita yang jadi pesaing tukang siomay lantaran kita buka
usaha siomay. Selain karena kita sebenarnya sanggup masuk di dunia industri
besar, percayalah, pendahulu-pandahulu kita yang sekarang sudah sepuh yang
menjalankan bisnis besar pun menanti pengganti-penggantinya.
*tentang Michael Dell saya baca dari buku 100 Great Business Ideas - Emily Ross & Angus Holland